Pati Obong atau Ritual Sati di Nusantara
9:53 PM
Tentang Upacara Pati Obong atau Ritual Sati di jawa pernah ditulis oleh Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, pada 2007, dalam disertasi doktoral di Universitas Leiden, Belanda, berjudul : Java’s Last Frontier : The Struggle for Hegemony of Blambangan, c 1763 - 1813, menyebut peristiwa Sati yang terbesar dalam sejarah Indonesia pada tanggal 18 September 1691.
Saat itu, hampir sebulan setelah Raja Blambangan Pangeran Tawang Alun II mangkat (13 Oktober 1691), dilaksanakan upacara ngaben (kremasi).
Tercatat sebanyak 270 wanita ikut menceburkan ke dalam bara api besar yang sedang berkobar, menemani jenazah sang pangeran. Mungkin inilah sebuah ritual yang membuat kita geleng-geleng kepala, ketika para wanita ikhlas mengorbankan nyawa atas nama cinta, pengabdian, dan kesetiaan. Ke-270 wanita yang bunuh diri itu adalah istri Raja Tawangalun II yang tercatat memiliki sebanyak 400 istri.
Kerajaan Blambangan mencapai kemakmuran dan kewibawaan yang luar biasa, pada masa Prabu Tawang Alun II berkuasa dari tahun 1655 sampai 1692. Masa damai tanpa peperangan, lepas dari kekuasaan Mataram dan Bali, ketika beribukota Macan Putih. Tawang Alun II begitu dicintai rakyatnya, sehingga tak heran jika ia memiliki ratusan istri.
Di Bali, pada 20 Desember 1847, Raja Gianyar meninggal dunia. Jenazah raja lantas dikremasi melalui serangkaian upacara ngaben yang mewah, meriah, dan sakral, ditemani tiga janda selirnya yang membakar diri hidup-hidup lewat upacara mestia.
Tentang Ritual Sati
Seorang wanita terjun ke dalam kobaran api mengikuti suaminya yang telah meninggal dunia.
Dalam laporan berjudul "Pionering in the Far East and Journeys to California in 1849 and to White Sea in 1848" yang dimuat dalam buku Negara Teater, Kerajaan-kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas, ditulis Clifford Geertz (Bentang Budaya, 2000), disebutkan tiga selir yang menemani kremasi raja itu diusung dengan tiga buah tandu.
Di sepanjang perjalanan menuju upacara pembakaran diri, tiga selir yang masih berusia muda itu tak menampakkan raut muka yang muram apalagi gentar. Mereka tampak asyik merias dirinya melalui cermin di tangan kiri dan sisir di tangan kanan.
“Di ketinggian yang sudah ditentukan, dengan jilatan api yang melata-lata di bawahnya, tiga selir itu berdiri dengan tenang. Ribuan pasang mata menyaksikan klimaks upacara ini dengan tatapan hening dan jelas tanpa rasa sedih. Lalu, satu per satu, tiga selir tersebut melangkah meniti papan yang dijulurkan ke tengah lidah api.
Tiga kali mereka menangkupkan tangan di atas kepala dengan masing-masing memegang seekor burung dara. Mereka meloncat ke bawah, menuju jilatan api yang berkobar-kobar, sementara burung-burung dara melesat ke udara, menyimbolkan ruh-ruh yang beterbangan.
Keberanian mereka dalam posisi yang mengerikan seperti ini memang luar biasa, tetapi ini ditimbulkan oleh harapan akan kebahagiaan di dunia yang akan datang,” demikian yang ditulis Clifford Geertz.