Tarumanagara, Kerajaan Tertua Di Jawa ?
9:40 PM
Kerajaan Tarumanagara berkembang pesat di bawah raja Purnawarman , tersebar di seluruh Jawa Barat. Nama - nama rajanya diabadikan pada prasasti batu, Salah satu yang ditemukan ditemukan di batu besar di tengah kali.
Telapak kaki sang raja tercetak pada batu tersebut dan mungkin menunjukkan penaklukkan atau pendudukan daerah yang dimaksud , tapak kaki juga merupakan lambang para Dewa.
Teks prasasti mengutip raja Purnawarman membandingkan tapak disetujui dengan telapak kaki dewa Wisnu.
Sebuah batu yang terletak di tapak kaki gajah kerajaan. Prasasti dengan pujian membandingkan kaki gajah dengan tapak kaki Airawata, gajah mitologi tunggangan Dewa Indra, raja para Dewa. Purnawarman terkenal, terutama, karena terusan dibangun di sebelah timur Jakarta Jakarta yang lebih besar untuk saluran udara di daerah yang sering digunakan untuk banjir.
Sumber-sumber yang berhubungan dengan Kerajaan Tarumanagara ini dapat diberikan sedikit sekali yang berhasil diketemukan hingga sekarang. Dan tentang predikat-nya sebagai pihak kerajaan pun, beberapa pihak beranggapan bahwa Kerajaan Salakanagara sebagai pendahulu dari Tarumanagara-masih perlu banyak pembuktian lagi.
Selain tujuh buah prasasti batu, juga ada berita Cina yang masing-masing berasal dari Fa-hsien tahun 414, Kronik Dinasti Soui dan T'ang, dan penemuan Arca serta Candi.
Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Bangka (Prasasti tentang Sriwijaya) diterima berkaitan dengan Taruma. Juga Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara . Dari seluruh sumber yang disebut terakhir, merupakan sumber dari abad ke-17 sehingga tidak dapat digunakan sebagai pelengkap dan bukan sumber utama Sejarah Kerajaan Tarumanagara.
Berita Cina yang berasal dari masa dinasti Soui mengatakan itu pada tahun-tahun 528 Masehi dan 535 Masehi telah datang perwakilan dari To-lo-mo yang terletak di selatan. Demikian pula, yang terjadi pada tahun 666 Masehi dan 669 Masehi, berita Dinasti T'ang telah mengatakan datangnya delegasi dari negera yang sama.
Menurut berita ini, terletak To-lo-mo disebelah tenggara, di antara Tcht e-t'ou dan Tan-tan menuju ke P'o-li. Dari Tan-tan yang belum diketahui, untuk menuju ke-mo, orang harus berlayar ke rah timur atau tenggara. Karena diharapkan Tcht e-t'ou adalah lafal Cina dari Patalung, sedangkan P'o-li disesuikan dengan Bali, rupanya dapat dipastikan, yang diminta oleh To-lo-mo adalah sebuah daerah di Jawa barat. Dari peninggalan abad ke-5 Masehi diketahui adanya Negara yang bernama Taruma, sepenuhnya fonetik dapatlah bertanggung jawab, jika disetujui oleh To-lo-mo adalah Taruma.
Prasasti-Prasasti Tarumanagara
Prasasti Ciareuteun (Ciampea, Bogor) yang ditemukan di Sungai Ciareuteun, dekat muaranya dengan Cisadane. Yang menarik perhatian dari prasasti Ciareuteun adalah gambar laba-laba dan tapak kaki yang dipahatkan di sebelah atas hurufnya.
Prasasti ini terdiri dari empat baris kalimat yang dipublikasikan dua kaki yang tertera itu adalah kaki Purnawarman, yang seperti kaki dewa Wiṣṇu. Purṇawarman juga menjawab sebagai raja yang gagah berani dari negeri Taruma.
Prasasti Pasir Koleangkak (Jambu) didapat di bukit yang ditunjuk sama, kira-kira 30 km sebelah barat Bogor. Di dalam Prasasti ini selain terdapat telapak kaki, juga diceritakan tentang sifat-sifat dan kemasyhuran Purnawarman saat mengatur kerajaan Tarumanagara, yang Gagah, dipahami, dan jujur terhadap tugasnya. Juga ada informasi tentang baju (zirah-nya) milik raja yang tak tertembus senjata musuh. senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, ia ditakuti lawan dan disegani kawan.
Pada Prasasti Jambu, Purnawarman disamakan dengan Indra yang selain dikenal sebai dewa perang, memiliki pula sifat-sifat sebagai dewa matahari. Dari semua berita yang jelas tentang kepercayaan di Jawa Barat pada zaman Tarumanagara sangat penuh dengan kepercayaan Weda.
Prasasti Kebon kopi terletak di kampung Muara Hilir, Cibungbulang. Prasasti ini membahas dua tapak kaki gajah yang disamakan dengan tapak kakgi gajah Airāwata, hewan mitologi tunggangan Dewa Indra. Prasasti ini juga diterbitkan dalam bentuk puisi anustubh¸ dengan huruf yang lebih kecil bentuknya jika dibandingkan dengan prasasti-prasasti Purnawarman yang lain.
Prasasti Tugu yang diketemukan di wilayah Tugu, Jakarta, untuk saat ini menjadi prasasti yang terpanjang dari semua prasasti peninggalan Purnawarman. Seperti halnya prasasti lain, prasasti ini pun berbentuk puisi, tulisannya dipahatkan secara melingkar pada sebuah batu bulat seperti telur.
Ada beberapa hal yang menarik dari prasasti ini dibandingkan dengan prasasti-prasasti Purnawarman lainnya :
Pertama , diungkap namanya dua buah sungai, yaitu sungai Candrabhaga dan Gomati, yang telah menimbulkan pelbagai tafsiran.
Kedua , Meskipun tidak lengkap, prasasti ini menjadi satu-satunya prasasti Purnawarman yang merupakan tidak pertanggalan.
Ketiga , prasasti ini membahas pemilihan selamatan oleh brahmana membahas dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan. Keempat , prasasti ini menempatkan dua buah nama lain di samping Purnawarman, sehingga setidak-tidaknya dapat digunakan untuk menentukan siapa yang sebenarnya Purnawarman.
Prasasti Tugu sambil mengutip penanggalan, sayang sekali tidak berupa angka tahun yang pasti, hanya menyebutkan Phalguna dan Caitra , yang bertepatan dengan bulan-bulan Februari-April menurut perhitungan tarikh Masehi. Karena di Jawa barat paling sulit turun hujan pada bulan-bulan Januari dan Februari, mungkin dapat dibuat, maksudnya membuat saluran itu tentulah sedikit lebih banyak yang diperlukan dengan upaya mengatasi banjir (luapan sungai).
Prasasti Cidanghiang atau lebak, didapat di kampung Lebak, di pinggir Sungai Cidanghiang, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi dua baris. Hurufnya Pallawa dalam beberapa hal mirip dengan huruf pada prasasti tugu. Prasasti ini menggambarkan Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian Purnawarman, yang dijuluki sebagai panji dari semua raja.
Prasasti Pasir Awi dan Muara Cianten, ditulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca, seperti yang dibaca dengan yang tersedia pada prasasti Ciaruteun, di sebelah gambar tapak kaki. Oleh karena itu, tidak dapat dibicarakan di sini.
Berdasarkan sebaran tempat-tempat penemuan prasasti dapatlah dipastikan, wilayah luas kerajaan Tarumanagara ini mencakup seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta, dan provinsi Banten sekarang. Kawasan Situs Batujaya yang terletak di wilayah pantai utara Karawang di dekat muara aliran Citarum, termasuk pula ke dalam wilayah kerajaan Tarumanagara.
Keadaaan Masyarakat Tarumanagara
Berdasarkan bukti-bukti dan sumber-sumber yang diperoleh hingga saat ini dapatlah diketahui tentang kita-kira-kira mata pencaharian penduduk zaman Tarumanagara. Terkait pada masa itu perburuan, pertambangan, perikanan, dan perniagaan termasuk mata pencaharian penduduk, di samping pertanian, pelayaran, dan peternakan.
Berita tentang perburuan kita peroleh dari berita tentang keberadaan cula badak dan gading gajah yang disetujui, sementara kita tahu badak dan gajah adalah pembohong, dan untuk mendapatkan cula dan gadingnya, harus segera dilakukan perburuan.
Tentang kegiatan perikanan (perikanan) barangkali dapat disimpulkan dari berita yang mengatakan bahwa kulit penyu termasuk barang dagangan yang banyak digemari saudagar-saudagar Cina. Kemungkinan akan ada pertambangan, kita peroleh dari berita tentang perdagangan logam mulia emas dan perak, dengan sendirinya tidak perlu lagi disebut perniagaan juga merupakan salah satu mata pencaharian penduduk.
Sementara itu, membahas tentang pertanian dan peternakan sebagai mata pencaharian, dapat kita peroleh berdasarkan sumber-sumber prasasti, terutama Prasasti Tugu yang terlengkap dari semuanya itu.
Pada prasasti ini diperlukan usaha pembuatan saluran yang dilakukan pada tahun kedua puluh dua pemerintahan raja Purnawarman, dan di antara kegunaannya tidak diatur sebagai upaya untuk mengatasi banjir yang masuk ke daerah pertanian di itu, atau dapat dibuat sebagai bagian dari rencana usaha. Juga ditemukan beberapa alat yang dibuat dari batu yang dilengkapi sekali dengan pertanian dan perladangan.
Selama ini termasuk anggapan, khususnya di kalangan para sejarawan dan budayawan Jawa Barat, itulah masyarakat Sunda Kuna adalah masyarakat petani ladang dan bukan masyarakat petani sawah. Anggapan ini perlu ditinjau kembali, perlu diperhatikan lingkungan ekologinya.
Untuk daerah-daerah di pedalaman yang bergunung atau di daerah perbukitan mungkin sekali menanam padi dengan sistem ladang ( penanaman padi-kering ) merupakan sistem yang tepat sesuai dengan lingkungannya, akan tetapi untuk daerah-daerah seperti pantai utara yang landai dengan banyak sungai-sungai mengalir ke Arah Laut Jawa, sistem pertanian sawah dengan pengairan ( budidaya padi basah ) merupakan sistem yang ideal.
Di dalam naskah Sunda Kuna, Sanhyan Siksa Kanda-n Karesian, yang ditulis pada tahun 1440 Saka (1518 Masehi), dengan menjelaskan terkait pada zaman Sunda Kuno selain ada huma (ladang pertanian) juga tersedia sawah dan sawah agӧn (sawah yang luas ). Bahkan, di dalam pengelompokan masyarakat dengan jelas pula muncullah kelompok pahuma (peladang) dan paῆawah (penyawah).
Jika sistem persawahan mengirimkan informasi yang tersirat di Prasasti Tugu dari Raja Purnawarman, yang menyebutkan pembuatan dua buah saluran udara (kanal) Candrabhaga dan Gomati. Menurut Setten van der Meer, kanal-kanal yang digabungkan dalam prasasti, Tugu itu dibangun oleh Raja Purnawarman untuk keperluan irigasi
Pengamatan Awal Yang dilakukan Oleh Hasan Djafar (2010) mengindentifikasi bahwa kulit padi Yang digunakan sebagai marah PADA bata percandian Dari situs Batujaya Dan Cibuaya merupaka JENIS padi sawah.
Tentang usaha peternakan, berita prasasti tugu tentang penghadiahan seribu ekor sapi untuk para Brahmana, dapat ditanyakan tentang usaha peternakan yang memungkinkan hal yang terlaksana. Di samping itu, tidak diadakan upacara selamatan dengan menghadiahkan seribu ekor sapi itu hanya merupakan nama salah satu upacara keagamaan dengan tata cara tertentu.
Mengenai pelayaran, barangkali ini tidak akan disangsikan lagi, walau pun pun, situasi lingkungan Tarumanagara tidak memberikan pertimbangan tentang keteraturan penduduk di bidang ini. Di samping itu, juga tidak mengharuskan para pedagang melakukan pelayaran sendiri ke daerah-daerah luar wilayahnya. Hal ini dimungkinkan karena letak Tarumanagara yang cukup strategis, di jalan niaga Nusantara.
Berdasarkan sumber-sumber yang tidak lengkap, dapat diperkirakan golongan-golongan masyarakat yang ada pada masa itu, adalah kaum tani, pemburu, pedagang, pelaut, penangkap ikan, dan peternak. Meskipun demikian, tidak dapat dipastikan, bagaimana pembagian kerja dilakukan dan mungkin masih ada berbagai jenis pekerjaan lain.
Dari berita Cina dapat diketahui bahwa orang-orang pada masa itu memiliki kepandaian membuat minuman keras, mungkin yang memerlukan sejenis tuak. Mengenai makanan utama, sudah bisa dipastikan bahwa itu menjadi makanan utama saat itu adalah beras. Di samping padi, pasti dimakan pula jenis-buah dan buah yang lain, serta daging hewan.
Sementara itu, ditinjau dari segi budaya, setidak-tidaknya ada dua golongan dalam masyarakat itu, adalah golongan masyarakat yang berbudaya berlatar belakang agama Hindu dan golongan masyarakat yang beragama asli.
Mengingat bahwa pada waktu itu India dapat meminta ada pada taraf penyebaran, dapatlah diakui sebagai golongan pertama yang terbatas pada lingkungan keraton saja, sedangkan golongan yang kedua bagian terbesar penduduk Tarumanagara. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, kedua golongan itu tidak saling terpisah, malahan dalam beberapa hal mereka dapat bekerja sama.
Berdasarkan temuan prasasti, kita hanya dapat menemukan huruf Pallawa dan Sanskerta pada masa itu, untunglah berita Cina sedikit banyak memberikan pertolongan, mereka menyebut keberadaan bahasa dengan nama K'un-lun, yang digunakan baik di Jawa maupun di Sumatra. Jadi, K'un-lun adalah nama umum yang diberikan kepada orang Cina untuk menyebut bahasa yang digunakan di pelbagai tempat di Indonesia, yaitu bahasa Indonesia yang tercampur dengan kata-kata Sanskerta.
Tentang Kepercayaan Penduduk Tarumanagara
Berdasarkan prasasti yang ditulis dengan aksara Palawa dan bahasa Sanskerta dapatlah diakui sebagai agama resmi pada masa awal Kerajaan Taruma –setidaknya yang dianut oleh rajanya – adalah agama Weda. Agama Weda pada mulanya adalah agama orang Arya, yang bertindak kat-henotheisme , yaitu agama yang dewa tertingginya berganti-ganti sesuai dengan kepentingan pemujaan.
Raja Purnawarman adalah penganut agama Weda yang memuja Wisnu sebagai dewa tertingginya. Tentang perkembangan agama Weda pada masa awal Tarumanagara, seperti yang ditawarkan juga di Kutai pada masa Raja Mulawarman.
Temuan inskripsi ayat agama Buddha di kompleks percandian Batujaya dapat dibuat sebagai bukti agama Buddha telah dikembangkan pula di Tarumanagara. Dalam sumber ditulis Tiongkok dari abad ke-5, yaitu kita Fo-kuo ( Fo-kwo-ki ) yang berisi catatan perjalanan yang ditulis oleh seorang pendeta Tionghoa Fa-Hsien (Fa Xian) pada tahun 414 Masehi, termasuk juga yang dilaporkan sebagai agama Buddha di wilayah Tarumanagara Dalam jumlah yang sangat sedikit pemeluk agama Buddha.
Berlainan dengan berita-berita Cina di atas yang sebagian besar mengabarkan hubungan diplomatik, berita Fa-Hsien sangat penting untuk membahas kehidupan keagamaan zaman Tarumanagara. Fa-Hsien mengatakan bahwa di Ye-po-ti sedikit sekali dijumpai orang yang beragama Buddha, tetapi banyak dijumpai orang-orang Brahmana dan mereka yang agamanya kotor.
Dari berita Fa-Hsien jelas tentang awal abad ke-5 Masehi, di Taruma ada tiga macam agama, yaitu Buddha, Hindu dan agama yang “kotor”. Agama Hindu paling diakui dan didukung pula oleh bukti-bukti prasasti dan arca.
Apa yang kita bahas tentang agama Buddha di Tarumanagara, sama sekali terbatas pada berita Fa-Hsien, yang mengatakan pada waktu itu di sana hanya sedikit ditemui orang-orang yang beragama Buddha seperti Fa-Hsien sendiri. Yang cukup menarik untuk dipublikasikan. Fa-shien tentang agama “kotor” yang menarik pertentangan di antara para sarjana.
Ada Yang berpendapat bahwa Yang disebut sebagai agama Kotor ITU ialah agama Siwa Pasupata , berdasarkan berita Yang Berasal Dari Seorang Cina Bernama Huen-Tsang (Abad 8 Masehi), Yang mengatakan adanya kaum brahmana Dan pemeluk Palsu. Karena ditentang oleh Huen-Tsang di India adalah agama Siwa Pasupata , pendapat pertama ini beranggapan agama yang tersebar di Tarumanagara.
Sementara itu, ada pula pendapat yang menghubungkan agama kotor dengan agama orang Parsi (Majusi), yang mengakui upacara penguburan dengan membawa jenazah sehingga hanya di hutan. Dengan ditanyakan tentang Ye-po-ti yang diberitakan oleh Fa-hsien itu tidak seharusnya di Jawa, tetapi di Kamboja, maka dari itu sampai pada kesimpulan seperti itu.
Barangkali akan lebih dapat diterima jika agama kotor ditransfer sebagai agama yang sudah lama ada sebelum masuknya integrasi India ke Nusantara. Oleh karena “agama” melakukan upacara-upacara yang berbeda dengan agama yang dikenal sebagai Fa-Hsien (Buddha dan Hindu).
Tidak dapat dibatalkan jika disimpulkan, bahwa penamaan agama kotor itu pada dasarnya menyangkut ketidaktahuan Fa-Hsien akan sistem dan kehidupan keagamaan asli Nusantara pada masa itu, yang dapat dipastikan masih dianut oleh bagian terbesar penduduk Tarumanagara.
Penggalian-penggalian prasejarah yang dilakukan di daerah Pasirangin (Bogor) lebih lanjut menunjang pendapat ini karena diduga terkait dengan tradisi prasejarah (asli) di daerah ini yang diharapkan menjadi pusat kerajaan Tarumanagara, yang kini telah berjalan sejak 10 Masehi.