Ratu Sima Dalam Cacatan Sejarah
8:33 PM
Pada zaman dulu, hiduplah seorang ratu yang memerintah di negerinya dengan tegas. Dia mengingat dengan nama Ratu Sima, Saking tegasnya, barang yang tergeletak di jalan tak kan ada yang berani mengambilnya.
Penasaran dengan ketegasan Sang Ratu, Raja Da-zi membawa sebuah tas yang berisi uang. Tas itu ditaruh di garis dekat negara Sang Ratu, meski melihat tas itu, orang-orang hanya melewatinya.
Tak ada yang berani menyentuh ataupun mengambilnya, Tas itu tetap di sana hingga tiga tahun lamanya.
Suatu hari, putra mahkota tanpa sengaja mencatat atau menceritakan tas itu. Ratu Sima pun marah besar sampai ingin membunuh putranya itu. Namun, dia keburu dicegah para menterinya. "Kesalahanmu di kakimu, karena itu sudah cukup jika kakimu dipotong," kata sang ratu.
Para menteri kembali menghalanginya. Akhirnya, Ratu Sima memakai ibu jari kaki sang pangeran. Dengan sikapnya, dia ingin memberi contoh kepada rakyatnya. Raja Da-zi pun takut dan tak berani menyentuh negara sang ratu.
Penguasa Kerajaan Ho-ling
Begitulah kisah tentang Ratu Sima dalam Catatan Dinasti Tang . Dia adalah penguasa Kerajaan Ho-ling yang terletak di Jawa bagian tengah. Menurut catatan itu, sang ratu naik takhta pada 674 M. Dengan demikian, Ho-ling menjadi perwira pertama di Jawa bagian tengah. Sayangnya, sumber-sumber sejarah yang menyebutkan soal kelahiran.
Arkeolog Agus Aris Munandar dalam Kaladesa Awal Sejarah Nusantara menerangkan, masa periode sejarah hingga 700 M, sumber sejarah Indonesia. Mereka biasanya adalah duta dari raja-raja kepulauan di selatan yang mempersembahkan upeti kepada para kaisar.
Soal Ho-ling, berita Tiongkok di Jawa pada sekira abad yang sama dengan berdirinya Kerajaan Tarumanegara tidak ada lagi. Penyebutan Ho-ling berkualitas disamakan dengan She-po (Cho-po) atau Jawa.
WP Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa menjelaskan, ada dua versi catatan Dinasti Tang yang menyebut soal Ho-ling. Pertama adalah Sejarah Lama Dinasti Tang (618-907) yang dianggap kurang benar. Sedangkan Sejarah Baru Dinasti Tang berisi informasi yang lebih lengkap tentang Jawa. "Nama Jawa sudah mulai mengisi nama Ka-ling," tulis Groeneveldt.
Mirip dengan penjelasan di Sejarah Lama Dinasti Tang , Ho-ling konteks di sebuah pulau di samudra selatan. Posisinya di sebelah timur Sumatera dan di sebelah barat Bali. Jika ke utara menuju Kamboja dan jika ke selatan menuju lautan.
Penduduknya membuat pertahanan dengan kayu. Bahkan Bangunan terbesar juga oleh daun palem. Mereka punya balai-balai dari gading. Pun alas yang terbuat dari kulit terluar bambu. Di Bangunan ini raja bertakhta.
Kalau makan, penduduknya tidak menggunakan sendok atau sumpit. Mereka memasukkan makanan ke mulut dengan jari - jari mereka. Disebutkan juga masyarakat Ho-ling sudah mengenal aksara. Mereka pun telah mengetahui sedikit ilmu astronomi.
Negara itu disebut sangat kaya. Ada sebuah gua yang airnya mengandung garam dan keluar dengan sendirinya. Raja tinggal di kota Java (Ja-pa). Dia dibantu oleh 32 menteri tinggi.
Di sekeliling negara ini terdapat 28 negara kecil yang mengakui kekuasaan Jawa. Pendahulu sang raja, Ji-yan, tinggal di sebuah kota di sebelah timur yang bernama Bu-lu-ga-si. Sang raja memandangi lautan dari pegunungan di Distrik Lang-bi-ya. Catatan itu juga mengabarkan pemberian dari Ho-ling rutin dilakukan ke Tiongkok yang mencatat hingga abad ke-9 M.
Berita lain tentang Ho-ling menuturkan adanya aktivitas agama Buddha di She-po. Ini, kata Agus, mungkin juga terjadi dalam masa pemerintahan Ratu Sima.
Menurut Catatan Tripittaka , kitab suci Budha di Tionghoa yang disusun sekira 720 M, ada seorang Biksu Buddha bernama Gunawarman.
Sang Biksu datang dari Kashmir ke Kerajaan Jawa pada permulaan abad ke-5 M atas undangan ibu suri. Gunawarman tinggal di Jawa selama kurang dari 25 tahun (396-424 M).
Disebutkan pula, pada pertengahan abad ke-7 M, seorang pendeta Buddha bernama Hui-ning belajar di Ho-ling selama tiga tahun, sejak 664 sampai 667 M. Dia berguru kepada seorang biksu Jawa bernama Jhanabhadra.
I-Tsing, seorang biksu dari Tiongokok yang pernah bermukim di Sumatra (Sriwijaya) pada pertengahan abad ke-7 M, juga pernah menyebutkan teks kerajaan itu. Dia mencatat adanya Kerajaan Ho-ling sebagai negara yang memiliki pusat pendidikan agama Buddha Hinayana.
Setelah berita adanya perpisahan pada abad ke-9 M, kerajaan ini tak lagi diketahui beritanya. “Mungkin keluarga Kerajaan Ho-ling kemudian bersatu dengan Wangsa Sailendra. Atau mungkin saja Sailendrawangsa itu sebenarnya penerus Kerajaan Kalingan".
Penasaran dengan ketegasan Sang Ratu, Raja Da-zi membawa sebuah tas yang berisi uang. Tas itu ditaruh di garis dekat negara Sang Ratu, meski melihat tas itu, orang-orang hanya melewatinya.
Tak ada yang berani menyentuh ataupun mengambilnya, Tas itu tetap di sana hingga tiga tahun lamanya.
Suatu hari, putra mahkota tanpa sengaja mencatat atau menceritakan tas itu. Ratu Sima pun marah besar sampai ingin membunuh putranya itu. Namun, dia keburu dicegah para menterinya. "Kesalahanmu di kakimu, karena itu sudah cukup jika kakimu dipotong," kata sang ratu.
Para menteri kembali menghalanginya. Akhirnya, Ratu Sima memakai ibu jari kaki sang pangeran. Dengan sikapnya, dia ingin memberi contoh kepada rakyatnya. Raja Da-zi pun takut dan tak berani menyentuh negara sang ratu.
Penguasa Kerajaan Ho-ling
Begitulah kisah tentang Ratu Sima dalam Catatan Dinasti Tang . Dia adalah penguasa Kerajaan Ho-ling yang terletak di Jawa bagian tengah. Menurut catatan itu, sang ratu naik takhta pada 674 M. Dengan demikian, Ho-ling menjadi perwira pertama di Jawa bagian tengah. Sayangnya, sumber-sumber sejarah yang menyebutkan soal kelahiran.
Arkeolog Agus Aris Munandar dalam Kaladesa Awal Sejarah Nusantara menerangkan, masa periode sejarah hingga 700 M, sumber sejarah Indonesia. Mereka biasanya adalah duta dari raja-raja kepulauan di selatan yang mempersembahkan upeti kepada para kaisar.
Soal Ho-ling, berita Tiongkok di Jawa pada sekira abad yang sama dengan berdirinya Kerajaan Tarumanegara tidak ada lagi. Penyebutan Ho-ling berkualitas disamakan dengan She-po (Cho-po) atau Jawa.
WP Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa menjelaskan, ada dua versi catatan Dinasti Tang yang menyebut soal Ho-ling. Pertama adalah Sejarah Lama Dinasti Tang (618-907) yang dianggap kurang benar. Sedangkan Sejarah Baru Dinasti Tang berisi informasi yang lebih lengkap tentang Jawa. "Nama Jawa sudah mulai mengisi nama Ka-ling," tulis Groeneveldt.
Mirip dengan penjelasan di Sejarah Lama Dinasti Tang , Ho-ling konteks di sebuah pulau di samudra selatan. Posisinya di sebelah timur Sumatera dan di sebelah barat Bali. Jika ke utara menuju Kamboja dan jika ke selatan menuju lautan.
Penduduknya membuat pertahanan dengan kayu. Bahkan Bangunan terbesar juga oleh daun palem. Mereka punya balai-balai dari gading. Pun alas yang terbuat dari kulit terluar bambu. Di Bangunan ini raja bertakhta.
Kalau makan, penduduknya tidak menggunakan sendok atau sumpit. Mereka memasukkan makanan ke mulut dengan jari - jari mereka. Disebutkan juga masyarakat Ho-ling sudah mengenal aksara. Mereka pun telah mengetahui sedikit ilmu astronomi.
Negara itu disebut sangat kaya. Ada sebuah gua yang airnya mengandung garam dan keluar dengan sendirinya. Raja tinggal di kota Java (Ja-pa). Dia dibantu oleh 32 menteri tinggi.
Di sekeliling negara ini terdapat 28 negara kecil yang mengakui kekuasaan Jawa. Pendahulu sang raja, Ji-yan, tinggal di sebuah kota di sebelah timur yang bernama Bu-lu-ga-si. Sang raja memandangi lautan dari pegunungan di Distrik Lang-bi-ya. Catatan itu juga mengabarkan pemberian dari Ho-ling rutin dilakukan ke Tiongkok yang mencatat hingga abad ke-9 M.
Berita lain tentang Ho-ling menuturkan adanya aktivitas agama Buddha di She-po. Ini, kata Agus, mungkin juga terjadi dalam masa pemerintahan Ratu Sima.
Menurut Catatan Tripittaka , kitab suci Budha di Tionghoa yang disusun sekira 720 M, ada seorang Biksu Buddha bernama Gunawarman.
Sang Biksu datang dari Kashmir ke Kerajaan Jawa pada permulaan abad ke-5 M atas undangan ibu suri. Gunawarman tinggal di Jawa selama kurang dari 25 tahun (396-424 M).
Disebutkan pula, pada pertengahan abad ke-7 M, seorang pendeta Buddha bernama Hui-ning belajar di Ho-ling selama tiga tahun, sejak 664 sampai 667 M. Dia berguru kepada seorang biksu Jawa bernama Jhanabhadra.
I-Tsing, seorang biksu dari Tiongokok yang pernah bermukim di Sumatra (Sriwijaya) pada pertengahan abad ke-7 M, juga pernah menyebutkan teks kerajaan itu. Dia mencatat adanya Kerajaan Ho-ling sebagai negara yang memiliki pusat pendidikan agama Buddha Hinayana.
Setelah berita adanya perpisahan pada abad ke-9 M, kerajaan ini tak lagi diketahui beritanya. “Mungkin keluarga Kerajaan Ho-ling kemudian bersatu dengan Wangsa Sailendra. Atau mungkin saja Sailendrawangsa itu sebenarnya penerus Kerajaan Kalingan".