Mitos
Dark Mode
Large text article

Kesaktian Panglima Besar Jenderal Soedirman

Jenderal Besar Raden Soedirman, lahir : 24 Januari 1916 – meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun, beliau adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia.

Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia.
Panglima Besar Jenderal Soedirman dikenal memiliki kesaktian saat menghadapi penjajah.

Kemampuannya mengolah ilmu kedigdayaan diakui sebagai salah satu kelebihannya.
Perhitungannya matang, tepat, dan akurat, hingga membuat decak kagum orang-orang dekatnya.

Hal ini juga dinyatakan oleh sejarawan, Anhar Gonggong yang juga menjadi Guru Besar Universitas Indonesia.

Menurutnya, tanpa semangat juang Jenderal Soedirman, mungkin Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang penjajahan Belanda. Jiwa patriotisnya dan semangat juangnya, berhasil membawa Indonesia sebagai negara yang diakui kemerdekaannya di Internasional.

Semasa kecilnya, Jenderal Soedirman memang telah dipupuk menjadi anak yang taat kepada ajaran agamanya. Hingga dia mulai menjajaki dunia pendidikan, Soedirman muda sangat aktif dalam mengikuti pelbagai kegiatan ekstrakurikuler. Sampai kemudian beliau menjadi seorang guru di sekolah Muhammadiyah.

Ia juga mengatakan, bahwa selain dikenal dengan sosok patriot dan taat pada agamanya, Jenderal Soedirman juga dikenal dengan seorang jenderal yang merakyat. Hal ini menurut Anhar karena tentara Indonesia memang dibentuk dan lahir dari rakyat. “Pak Dirman merakyat karena memang asalnya dari rakyat. TNI kita ini membentuk dirinya sendiri tidak dibentuk oleh orang lain,” ungkap Anhar.


Jendral Soedirman, Si Ahli Strategi :

Dalam proses pembentukan diri TNI inilah kemudian lahir sosok Jenderal Soedirman. Soedirman dengan kewibawaannya dan startegi-strategi perangnya kemudian dipertemukan dengan Oerip Soemohardjo yang memang lihai dalam mengelola sistem organisasi untuk kembali menghadapi penjajahan Belanda.


“Jadi, pembentukan TNI kita ini tidak dalam situasi yang biasa tapi dalam situasi yang luar biasa harus berjuang mempertahankan kemerdekaan, mulai dari TKR, TRI, dan terakhir TNI,” ujarnya.

Maka tidak salah, menurut Anhar, jika menyebutkan TNI kuat bila bersama rakyat. Karena memang pada pembentuknya menurut Anhar, TNI tidak dibentuk langsung oleh pemerintah seperti halnya negara-negara lainnya.

Di masa penjajahan itu, terang Anhar, Belanda tidak mungkin membuat pasukan tentara. Karena memang Belanda tidak pernah memikirkan bahwa Indonesia akan merdeka.”Tentara kita ini adalah tentara yang dibentuk oleh dirinya sendiri, tidak seperti di negara lain. Kalau di negara lain, itu sudah dibentuk oleh penjajah. Sedangkan tentara nasional kita tidak pernah dibentuk karena memang Belanda tidak pernah memikirkan bahwa kita akan merdeka,” ucapnya.

Jendral Soedirman saat di candi Borobudur
Menurut Anhar, sejalan dengan perjalanan para tentara dalam mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia. Dari perjalanan itulah kemudian muncul wajah Jenderal Soedirman dengan semangat juangnya dalam keadaan kritis karena mengalami sakit paru-paru namun mampu mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari tangan-tangan Belanda.

“Jenderal Soedirman membuktikan bahwa seorang pemimpin tentara itu harus mempunyai kemampuan militer yang tangguh dan selama situasi kritis tidak boleh goyah,” ungkapnya.

Dari hal tersebutlah, membuat Jendral sudirman mendapatkan nominasi sebagai salah satu panglima TNI yang memiliki dedikasi yang tinggi. Terbukti, ia yang saat itu sedang mengidap penyakit paru-paru namun tetap bergeriliya di medan perang untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Perang gerilya :

Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen - dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda. Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. Setibanya di sana, mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00.

Jendral Soedirman didalam tandu, saat bergerilya - bantul.
Selama di Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri.

Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan militer. Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya diperintahkan untuk tinggal di Kraton. Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo.

Di sana, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz; Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.

Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari Batalion 102.

Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman –yang saat itu berpakaian sipil dan dan tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka – adalah tahanan dan menolak untuk melepaskan Soedirman dan kelompoknya, mereka mencurigai konvoi Soedirman yang membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-mata.

Ketika sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama.

Ia juga menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan menyediakan mobil untuk mengangkut Soedirman dan pasukannya. Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan lebih jauh ke timur; setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda berencana untuk menyerang Kediri.

Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser – yang memiliki kemiripan dengan Soedirman. Kesser diperintahkan untuk menuju selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko.

Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda.

Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.

Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu aman.

Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya. Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain.

Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran. Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat para gerilyawan.

Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB.
Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan agar serangan itu berhasil.

Pertemuan ini menghasilkan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam belas jam, menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional ; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas.

Namun, siapa tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas: Soeharto dan Hamengkubuwono IX sama-sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini, sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia lah yang telah memerintahkan serangan tersebut.
Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen.
Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya ;
Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli.

Jendral Soedirman usai perang gerilya.
lokasi : Aloon-aloon utara yogyakarta.
Soekarno lalu memerintahkan Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tetapi Soedirman menolak untuk membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan ; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda.

Meskipun ia dijanjikan akan diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan.

Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana. Wartawan Rosihan Anwar, yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin tertinggi republik".


Pasca - perang dan kematian :

Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi Soedirman.

Soedirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal yang sama. Setelah ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan, Soedirman tetap menjabat, dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.

Soedirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih. Ia menginap di Panti Rapih menjelang akhir tahun, dan keluar pada bulan Oktober ; ia lalu dipindahkan ke sebuah sanatorium di dekat Pakem. Akibat penyakitnya ini, Soedirman jarang tampil di depan publik. Ia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember.

Di saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada 28 Desember, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara.

Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 tanggal 29 Januari 1950, kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI. Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang bertugas di lingkungan tersebut.

Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan puluh kendaraan bermotor, dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut diselenggarakan oleh anggota Brigade IX.

Jenazah Soedirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari, yang dihadiri oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk Perdana Menteri Abdul Halim, Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Johannes Leimena, Menteri Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Informasi Arnold Mononutu, Kepala Staff TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel Paku Alam VIII, dan Soeharto. Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24 senjata.

Jenazah Soedirman kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer (1,2 mil) mengiringi di belakang. Ia dikebumikan di sebelah Oerip setelah prosesi hormat senjata. Istrinya menuangkan tanah pertama ke makamnya, lalu diikuti oleh para menteri.

Pemerintah pusat memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di seluruh negeri, dan Soedirman dipromosikan menjadi jenderal penuh. Djenderal Major Tahi Bonar Simatupang terpilih sebagai pemimpin angkatan perang yang baru.
Memoar Soedirman diterbitkan pada tahun itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga diterbitkan pada tahun 1970.
Post a Comment