JEJAK PENGARUH HINDU Di TANAH KARO


Praktek keagamaan Hindu dalam masyarakat Karo masih dapat kita lihat sampai sekarang, di Desa Pintu Besi, Kecamatan STM Hilir, Deli Serdang, wilayah yang secara historis dikenal sebagai tempat bermukim orang Karo (Karo Jahe) yang dikenal dalam sejarah Deli dengan Sinuan Gambir.
Sekitar 50 kepala keluarga memeluk agama Hindu. Di desa ini terdapat Pura Persadanta, tempat ibadah umat Hindu.

Keberadaan umat Hindu di sini ada sejak 1970, namun pengaruh Hindu sudah lama hadir disini. Dahulu mereka pemeluk keperyaan Pemena yang ada kesamaan dengan agama Hindu. Sejarah pengaruh Hindu di Tanah Karo akan dijelaskan melalui tiga variabel yaitu sejarah marga Sembiring, Sipemena(kepercayaan asli orang Karo) dan ritual erpangir ku lau.
Dari sekian banyak unsur-unsur pengaruh Hindu yang paling monumental adalah hadirnya merga Sembiring di Tanah Karo.

Asal-usul orang Karo banyak dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Haru/Aru yang eksis di wilayah pesisir Sumatera Bagian Utara (abad 13-16 M). Etimologi Karo diambil dari kata Haru. Dari sinilah diperkirakan terbentuknya nama Karo untuk suku bangsa yang menetap tidak hanya di tanah tinggi Karo, tapi juga di wilayah pesisir Deli dan Langkat.
Jadi bisa dibenarkan jika nama Karo merupakan proses peralihan pengucapan dari kata Haru, sebab kerajaan Haru dipercaya dibangun oleh orang Karo (Suprayitno, 2008) sebelum marga Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin menjadi bagian dari masyarakat Karo, telah ada penduduk asli Karo pertama dengan marga Karo Sekali.

Kedatangan marga Karo-Karo, Ginting, Tarigan dan Perangin-angin, membuat marga pada masyarakat Karo bertambah.
Dipercaya mereka pendatang dari Gayo/Lingga, Simalungun, Dairi, Tongging. Marga Sembiring merupakan kelompok masyarakat yang datang paling akhir ke Tanah Karo.

Sembiring diidentifikasikaan berasal dari orang-orang Hindu Tamil yang terdesak oleh kehadiran pedagang Muslim di Bandar Barus dan Aru (Kota Cina). Mereka bergerak menembus pegunungan Bukit Barisan ke Dataran Tinggi Karo.

Menurut Sangti, kondisi ini akhirnya membentuk merga si lima (Marga yang Lima) di Tanah Karo.
Proses pembentukan ini berkaitan dengan masalah keamanan sebagai jalan keluar mengatasi pergolakan antara orang-orang yang datang dari kerajaan Aru dengan penduduk asli. Dari sinilah muncul narasi- narasi sejarah dan asal kehadiran orang-orang Tamil yang beragama Hindu ke Tanah Karo, yaitu dari Haru dan Barus. Keduanya bisa dijustifikasi dengan data-data arkeologis sebagaimana saya kemukakan di atas.

Kerajaan Haru yang berpusat di sekitar Belawan (kota Cina) dipandang sebagai komunitas politis yang lebih awal menyerap pengaruh Hindu. Berdasarkan data-data arkeologis yang ditemukan di Situs Kota Cina, mengindikasikan bahwa pengaruh Hindu sudah sampai ke pesisir pantai Timur sejak abad-abad ke 11 M.

Dari sini rakyat Haru yang beragama Hindu, setelah agama Islam masuk ke Haru, lebih memilih migrasi ke dataran Tinggi Karo. Jika sebuah sumber lisan menyatakan “Seorang pendeta Hindu dari Kerajaan Haru, karena sebab perang melawan kerajaan Pasai mengungsi dan menetap di Kuta Buluh di dataran Tinggi Karo”, maka bisa jadi itu benar.

Sukar dipastikan sejak kapan merga Sembiring menjadi bagian dari masyarakat Karo. Namun dipercaya bahwa merga Sembiring dipandang sebagai merga termuda dari empat merga lainnya yang masuk ke Tanah Karo.
Sembiring berasal dari Si+e+mbiring (hitam) artinya yang ini hitam. Makna kata ini merujuk kepada kelompok masyarakat yang berkulit hitam. Berdasarkan temuan-temuan arkeologis di Barus dan Kota Cina bahwa kelompok masyarakat Tamil berasal dari India Selatan dan telah bermukim di Barus dan Kota Cina.
Kedatangan orang-orang Tamil ke Tanah Karo diperkirakan tidak bersamaan. Gelombang kedatangan mereka berkaitan dengan kehadiran Islam di Barus.

Namun Brahma Putro menyebutkan bahwa kedatangan orang Hindu ke Tanah Karo sekitar abad ke 14 M karena ada serangan Majapahit ke Kerajaan Haru. Aru (Harw) memang pernah diserang dan dikuasai Majapahit sebagaimana disebut dalam buku Negara Kertagama karangan Prapanca.
Orang-orang Tamil yang menyingkir ke pedalaman Sumatera (Tanah Karo) diterima dengan baik.

Beberapa informan menyatakan kedatangan mereka ke Tanah Karo disapa dengan simbiring. Ucapan si mbring ini akhirnya menjadi Sembiring dan akhirnya diterima menjadi salah satu merga di Tanah Karo.

Dalam marga Sembiring terdapat submarga antara lain Sembiring Brahmana, Pandia, Colia, Meliala, Guru Kinayan, Keling, Pelawi, Kembaren, Sinulaki, Sinipayung, Bangko, Keloko, Depari, Pelawi, Bunu Aji, Busok dan lain-lain.
Sinulaki, Sinupayung dan Bangko.
Lahirnya sub-sub marga ini diduga karena berkaitan dengan daerah asal mereka di India.

Misalnya Sembiring Pandia diduga berasal dari daerah Pandya, Colia dari daerah Chola, Muham dari daerah Muoham, Meliala dari daerah Malaylam, Brahmana dari kelompok pendeta Hindu.

Nama-nama submarga ini membuktikkan kuatnya pengaruh Hindu dalam masyarakat Karo, khususnya merga Sembiring.
Meski demikian, tidak semua submarga sembiring berasal dari Barus dan Aru (Kota Cina).
Sembiring Kembaren, Keloko, Sinipayung dan Bangko mengaku berasal dari Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau.

Sembiring yang berasal dari Pagaruyung mempraktekkan tradisi kremasi, namun abu jenaazahnya dikubur. Sedangkan Sembiring yang berasal dari Tamil, yang dikenal dengan sebutan Sigombak, melakukan tradisi kremasi dan abu jenazah dihanyutkan ke sungai.

Menarik dijelaskan disini tentang riwayat leluhur merga Sembiring Brahmana yang ada di Desa Limang, Kecamatan Tiga Binanga. Tradisi lisan menyatakan bahwa leluhur mereka merujuk kepada seorang yang bernama Trennu Lenni Smegit, seorang pertapa dan banyak mendamaikan negerinegeri yang bertikai di sekitar Sinabun dan Sibayak, Tanah Karo.

Berkat jasanya itu, maka seorang pendeta Hindu dari Kuta Buluh menganugerahi jabatan kepadanya sebagai Rsi Bregu dan Brahmana kepada Trennu Lenni Smegit sekitar tahun 1600-an. Trennu Lenni yang berasal dari Khasmir/India menyatu kedalam klan Sembiring yang sudah lebih dahulu datang ke Tanah Karo. Trennu Lenni bukan beragama Hindu, tapi penganut kepercayaan Pemena (Sipemena). Sembiring Muham, Depari, Meliala dan Colia datang ke Limang untuk meminta semua keturunan Smegit Brahmana masuk ke dalam merga Sembiring pada tahun 1600-an.

Versi lain menyatakan bahwa pada abad ke 16 M, datang seorang resi Megit Brahmana dari India yang menikah dengan putri Karo. Keturunan resi ini kemudian mengembangkan agama Hindu ajaran Maharesi Brgu Sekte Ciwa, lalu bergabung dengan klen merga Sembiring.
Kedua versi ini meskipun berbeda, namun secara sama menyatakan ada leluhur mereka datang dari India dan bergabung dengan merga Sembiring.

Orang Karo sejak masa prasejarah telah mengenal sistemk
an yang dikenal dengan Pemena. Inti ajarannya adalah mereka mempercayai bahwa ada kekuatan yang menciptakan dan mengatur kehidupan di alam semesta ini.

Mereka mempercayai ada tiga perwujudan  Tuhan (Dibata) yakni Dibata Kaci-kaci (Dibata Sidatas=Tuhan yang berkuasa di langit /atas); Dibata Padukah Ni Aji (Dibata Tengah=Tuhan yang berkuasa di bumi) dan Dibata Banua Koling (Dibata Teruh= Tuhan yang berkuasa di bawah bumi).

Kekuatan Dibata itu dapat mendatangkan kebahagiaan dan juga malapetaka. Kekuatan itu ada pada roh-roh leluhur yang bersemayam di Gunung, Hutan atau alam sekitar manusia, dapat berujud batu, hewan, dan sebagainya.

Kepercayaan ini dikenal dengan nama Pemena (yang pertama). Dari arti kata itu bisa dikatakan kepercayaan inilah yang pertama berkembang di Karo sebelum datangnya agama dari India (Hindu/Budha), Islam dan Kristen.
Agar terjadi kehidupan yang harmonis dan bahagia antara manusia dan alam semesta, maka perlu semua kekuatan itu dipuja dengan memberikan pesembahan melalui perantaraan seorang guru si baso sebagai pemimpin ritual.

Terdapat ritual-ritual kepada roh pelindung desa (Buah Huta-Huta), Nini Pagar, Pengulu Balang dan ritual kepada roh pelindung keluarga seperti Begu Jabu (Simate - sadawari=roh orang yang mati seketika (umur sehari) dan roh pelindung keluarga (Begu Bicara Guru). Masuknya agama Hindu kemudian beralkulturasi dengan kepercayaan Pemena.

Dari sekian banyak ritual dalam kepercayaan Pemena, maka yang paling pas untuk dijelaskan disini adalah tentang upacara kremasi (pembakaran mayat).
Kepercayaan Pemena memiliki ritual penguburan mayat yang dikenal dengan sirang-sirang. Ketika penguburan tiba, seluruh anggota keluarga harus menari (landek). Proses penguburan diiringi dengan gendang yang disertai dengan teriakan dan ratapan.

Selama ritual ini dilakukan, sehelai kain putih dikibarkan untuk memanggil tendi orang yang berduka untuk mengikuti roh orang yang meninggal. Ketika sampai di area perkuburan, seorang kerabat dekat akan mengayunkan tangan kirinya sambil memegang sebongkah sirih dan daun ersam sebanyak empat kali sambil mengucapkan “nggo nam sam kerina belawanta, mejuah-mejuah kam kerina itadingkendu (semua kesepakatan kami kini sudah terpenuhi, semoga engkau meninggalkan kami semua dalam keadaan damai).

Dengan begitu, maka upacara kremasi yang ada dalam masyarakat Karo pengaruh dari agama Hindu. Upacara ini sudah berlangsung lama bahkan sampai tahun 1960-an1 khususnya di Desa Limang. Bukti- bukti lokasi dan lubang-lubang tempat penyangga abu jenajah masih dapat ditemukan di tepi Sungai Serembo, yang berhulu ke Sungai Wampu terus Langkat dan Selat Melaka.

Prosesi ritual kremasi ini, hampir sama dengan ritual kematian pada kepercayaan pemena, namun pada prosesi akhir mayat tidak dikuburkan, tapi dibakar. Prosesi ini dipimpin oleh seorang guru dan dibantu oleh 4 orang perempuan yang bertugas sebagai pembakar mayat yang disebut sindapur.

Jenazah yang sudah dikremasi diletakkan di dibagian depan dari kuburan dengan menempatkan anggota badan ke dalam nyala api. Para si dapur inilah yang bertanggungjawab untuk menguburkan jenazah secara layak.
Sebelum jenazah dibawa ke luar rumah, di depan pintu diletakkan kudin (belanga dari tanah liat) di dalamnya diisi gulai ayam (cipera).

Suami atau istri kemudian menendang kudin itu hingga pecah, sebagai simbol hancunya hati suami/istri yang ditinggal mati. Kemudian daging ayam disuguhkan kepada kerabat dekat saat makan siang. Dengan memakannya diharapkan kesedihan akan hilang.
Setelah itu mayat dibawa ke tempat kremasi di lapangan terbuka di tepi sungai.

Sebelumnya telah dipersiapkan kayu bakar dari pohon dokum oleh anak beru. Selama proses pembakaran mayat kayu tidak boleh ditambah, sehingga jumlah kayu harus diperhitungkan secara eksak.

Ditempat kremasi, keluarga yang meninggal disuruh kembali ke rumah dan tinggal guru dan 4 orang si dapur. Sebelum api disulutkan, guru yang memimpin prosesi memerintahkan si dapur untuk melepas semua pakaian jenazah dan ditelungkupkan di atas batang kayu dokum dan si dapur diperintahkan oleh sang guru untuk memukul kaki jenazah sekuat-kuatnya agar arwahnya tidak kabur dan gentayangan.

Bagi mayat perempuan yang meninggal melahirkan, bayinya juga turut dibakar. Setelah itu barulah guru membakar jenazah di atas kayu yang telah dipersiapkan. Kemudian, si dapur harus segera membuang
abu jenazah ke sungai terdekat dan membersihkan sisa-sisa upacara agar sisa-sisa jenazah tidak digunakan oleh orang-orang yang menuntut ilmu hitam. Si dapur kemudian melakukan ritual yang dipimpin oleh sang guru. Mereka dimandikan lau penguras yaitu air yang sudah dijampi-jampi oleh sang guru. Setelah itu baru dibolehkan pulang ke rumah dan setelah sampai di rumah mereka harus mencuci telapak tangan dan memegang para-para yaitu tungku api untuk masak. Ini dilakukan agar si dapur tidak diganggu oleh jenazah orang yang dibakar tadi.

Upacara kremasi ini akhirnya hilang dalam masyarakat Karo pada era tahun 1970-an menyusul semakin pesatnya perkembangan agama Kristen dan Islam, pasca peristiwa 65.
Pasca peristiwa `65, orang Karo terpaksa harus memilih untuk memeluk agama resmi oleh rezim Orde Baru, kalau tidak mau dilabel sebagai atheis/komunis.

Sejak itu eksistensi kaum Pemena pudar di tengah masyarakat Karo. Upaya sebagian tokoh budaya Karo untuk menghidupkan kembali ritual dan budaya asli selalu menghadapi tantangan berat, karena dipandang akan membangkitkan kepercayaan kepada roh halus atau syetan.
Usaha beberapa tokoh adat budaya Karo akhirnya mendapatkan titik cerah setelah diadakan seminar tentang upacara erpangir ku lau (bermandi ke sungai), salah satu tradisi lama pada masyarakat Karo. Seminar yang difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Karo tahun 2017 lalu menyepakati agar pelaksanaan upacara erpangir kulau, hanya
untuk even budaya untuk mendukung perkembangan industri pariwisata di Tanah Karo.

Tokoh-tokoh agama baik Islam, Katholik dan Protestan mengingatkan agar upacara erpangir ku lau bukan bertujuan untuk membangkitkan kepercayaan lama yang penuh dengan pemujaan kepada makhluk halus. Setahun sebelumnya erpangir ku lau, sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak benda oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Ritual erpangir ku lau yang artinya berlangir (membersihkan diri) bukanlah sebuah proses mandi biasa. Akan tetapi erpangir adalah upacara religius menurut kepercayaan tradisional Karo. Ritual erpangir dilakukan misalnya sebagai ungkapan tanda syukur kepada Dibata, karena sembuh dari penyakit, terhindar dari maut, bersyukur karena hasil panen yang berlimpah, menyembuhkan penyakit, memohon keberhasilan usaha pertanian dan lain-lain.

Sebagai sebuah tradisi lama, ritual erpangir ini selalu diiringi dengan gendang (musik) Karo dan dibimbing oleh seorang guru sibaso.Ritual ini juga membutuhkan beberapa ramuan seperti cara erpangir untuk mengobati orang gila (mehado); yang dahulu sering dilakukan oleh penghulu Limang. Ritual itu membutuhkan jeruk purut, lumut dari tujuh tempat keramat, kulit ular yang baru ganti kulit, besi-besi sangka sempilet, daun sebalik sumpa, daun sebalik angin, daun sarang, daun peldang), daun peldang raja, daun abang-abang), daun jarak dan padang lalis.
Dari musik dan ramuan pendukung ritual ini sukar untuk memastikan apakah ritual erpangir ini dipengaruhi oleh unsur-unsur agama Hindu.

Namun dari mantera-mantera yang diucapkan oleh guru sibaso, dapat dikenali bahwa upacara ritual ini terpengaruh juga dengan unsur agama Hindu. Ritual erpangir ku lau selalu dimantrai. Mantra (tabas) ini biasa diucapkan oleh guru sibaso dengan menembangkannya.

Mantra ini dipercayai mempunyai kekuatan magis untuk mempengaruhi atau menyembuhkan penyakit dengan memanggil arwah guru yang dipanggil nini bulang.

Tiga variabel sebagaimana dijelaskan diatas adalah sebagian kecil saja dari bukti atau tanda-tanda terdapatnya pengaruh agama Hindu dalam masyarakat Karo. Masih banyak sebenarnya dalam ritual keseharian orang Karo yang dipengaruhi oleh agama Hindu.

Lebih jelas pula dapat dilihat dari nama-nama hari dalam kalender orang Karo, seperti Aditia, Suma, Nggara, Budaha, Beraspati, Sami Sara, Suma, Cukra enem, Belah naik, Sumawa siwah, Nggara sepuluh, Budaha ngadep, Suma cepik dan lain-lain. Ada 30 nama hari dalam bahasa Karo yang menunjukkan adanya pengaruh bahasa Sanskerta.

Itulah bukti-bukti atau jejak pengaruh agama Hindu yang masih terus hidup dalam budaya masyarakat Karo.




DAFTAR PUSTAKA :

Berkala Arkeologi, Sangkhakala, Vol. XI No. 22. Oktober 2008, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Arkeologi Medan.

0/Post a Comment/Comments

CAKRAWALA Cyber

👁️‍🗨️ Dibaca :